lorpisbisatonji.com blogger graphic comments
Selamat Datang diBlogku Coz.Semoga Bermanfaat

Sabtu, 08 Oktober 2011

Pintar Saja Tidak Cukup

Dulu, ketika kami masih SD, Ibu kerap menceritakan keberhasilan salah seorang kenalannya. Setiap menjelang tidur, dengan rasa bangga yang tergurat jelas pada wajahnya, ia menguraikan bagaimana kenalannya itu berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke luar negeri. Kenalannya adalah seorang guru, iaiknya ibu-bapak kami, dengan 4 orang anak. Dengan penghasilan pas-pasan seorang guru, mereka berhasil mengantarkan keempat orang anak mereka hingga menamatkan tahap pendidikan S-1.
Anak-anak ini pintar, kalau tidak dapat dikatakan genius. Tiga di antara mereka mendapat beasiswa ke luar negeri karena kehebatan dan kecerdasan mereka. Ketika pulang, mereka mendapatkan jabatan yang sangat bergengsi. Saya bertemu 2 di antara mereka beberapa tahun lalu. Dengan rasa bangga yang masih tersisa dari ibu saya dulu, saya bercerita banyak dengan mereka. Namun, pada akhir pembicaraan, rasa bangga saya mulai berangsur sirna. Mereka ternyata orang-orang yang gagal membina keluarga, kurang berhasil dalam karier, dan seperti mengalami kebingungan emosional yang sangat dahsyat. Satu di antara mereka adalah pengunjung tetap klub malam untuk mencari hiburan dan keriangan.
Saya mengenal mereka jauh lebih dalam dan intimate ketimbang saya mengenal Takuan. Takuan tak lebih dari pendeta kebanyakan. Ia tak pintar main samurai seperti Takezo. Namun, ketika para hulubalang raja yang piawai memainkan pedang tak berhasil mengalahkan dan menangkap Takezo, Takuan memberanikan diri menangkapnya. Bukan dengan pedang, apalagi dengan kekerasan, apa pun bentuknya. Ia menangkap Takezo dengan permainan seruling. Mendayu, mendayu, tetapi menghanyutkan. Takezo, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Musashi Miyamoto, waihasil dibawa ke raja. Tidak untuk dihukum sebagai pembangkang. Ia dijebloskan ke dalam penjara pengetahuan. Ia dijejali dengan kitab-kitab berhikmat-bijaksana dalam kungkungan penjara dengan tembok-temboknya yang kokoh.
Saya membaca kisah Takuan dan Takezo ketika beberapa tahun lampau harian Kompas memuat secara berseri kisah klasik Jepang ini. Hidetsugu (Eiji) Yoshikawa— yang menulis cerita di atas sepanjang 26.000 halaman dan dimuat secara berseri di koran Asahi Shinbun dalam rentang waktu 4 tahun (1935-1939)—menukik tajam pada apa yang oleh ilmu psikologi modern disebut karakter. Takezo adalah samurai tak berbanding. Ia tenar dan belum pernah dikalahkan. Kepiawaiannya memainkan pedang bagaikan jari-jemari Mozart di atas tuts piano, setali tiga uang dengan Pete memainkan bola di kakinya. Memakai istilah psikologi, Takezo memiliki kompetensi tinggi dalam memainkan pedang. Ia digelari manusia pedang karena kehebatannya menarikan pedang hingga membunuh Iawannya tanpa terasa. Sebelum ditangkap oleh Takuan dan diberi bacaan puluhan kitab, Takezo adalah samurai yang memiliki kompetensi tinggi, tetapi tidak memiliki karakter. Dalam bentuk film yang dibuat beberapa waktu setelah novelnya diterbitkan, diperlihatkan bagaimana Takezo membunuh lawan-lawannya dengan sekali sabet.

Kompetensi, IQ
Anak kenalan ibu saga dan juga ahli pedang Takezo jelas-jelas memiliki kompetensi atau biasa disebut IQ (Intelligence Quotient) yang bagus. Ukuran ini adalah puncak keunggulan yang disasar oleh hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia. Anda yang punya anak SD saja dijejali dengan banyak kompetensi yang harus dikuasai. Departemen Pendidikan Nasional bahkan mewajibkan adanya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada semua lembaga pendidikan. Dokter-dokter atau insinyur-insinyur di semua PTN/PTS diwajibkan memiliki kompetensi tertentu untuk bisa berpraktik. Ringkasnya, kecerdasan, kompetensi, IQ, nilai rapor, IP, atau apa pun istilahnya, adalah standar-standar yang harus dimiliki seseorang untuk diluluskan. Tidak mengherankan jika semua perusahaan swasta dan kantor pemerintah mensyaratkan semua nilai itu agar seseorang dapat diterima sebagai karyawan. Juga tidak aneh jika orang yang memiliki IP, IQ, nilai rapor, dan kompetensi yang tinggi mendapatkan penghormatan yang (sering kali) berlebihan dari komunitasnya. Di sebuah sekolah yang kerap saya kunjungi, anak-anak yang IQ-nya tinggi diperlakukan laiknya orang terhormat dan dipuji secara berlebihan. Mereka disebut si Pintar. Sementara yang lain disebut si Bodoh, atau si Pas-pasan.
Orang pintar, apalagi dengan tingkat pendidikan hingga S-3 atau bahkan bergelar profesor, selalu diyakini sebagai orang-orang hebat dan jaminan mutu untuk menyelesaikan semua hal. Kalau ada suatu kepanitiaan atau lembaga yang butuh ketua, biasanya orang-orang ini mendapat prioritas memimpin. Kalau ada pertemuan, mereka mendapat tempat terhormat dan duduk di bangku terdepan. Gelar mereka diyakini menjadi garansi keberhasilan. Apalagi kalau orang pintar itu lulusan perguruan tinggi terkenal di dalam atau (apalagi) luar negeri. Gelar mereka sangat diyakini merupakan obat cespleng untuk berbagai problem. Mereka seperti Takezo yang dibutuhkan sebagai petarung hebat dalam pertempuran-pertempuran.
Walaupun hal ini lazim di Indonesia, bagi saya itu merupakan hal yang sungguh mengejutkan. Alasannya, mengherankan bahwa orang yang 70 persen hidupnya berurusan dengan zat-zat kimia, tabung-tabung reaksi, dan setumpuk buku, terkungkung dalam dunia bernama laboratorium, tiba-tiba dianggap bergaransi sukses mengatur segala sesuatu hanya karena mereka bergelar doktor, profesor, sekolah di luar negeri, dan ahli pada bidangnya. Kompetensi mereka tidak diragukan, tetapi mungkin yang perlu diperhatikan adalah karakter, atau apa yang populer dengan istilah EQ (Emotional Quotient, kecerdasan emosi).

Karakter, EQ
Kalau kita mau jujur, sesungguhnya keberhasilan mengelola hidup (karier, rumah tangga, pergaulan) tidak hanya ditentukan oleh gelar-gelar, pendidikan tertinggi, IP, apalagi IQ. Orang pintar tidak punya jaminan juga pintar mengatur hidup. Tidak ada jaminan bahwa para penyandang gelar tertinggi atau yang lulus aim laude dari sekolah adalah manajer yang baik. Setidaknya bagi hidup mereka sendiri. Kenalan ibu saya memberi bukti hidup tentang itu. Gelar dan jabatan terbaik yang dimilikinya tidak memberi kontribusi yang bermakna dalam Iaboratorium yang bernama masyarakat dan rumah tangganya. Kesadaran diri (self-awareness), keterampilan sosial (social skill), motivasi diri (personal motivation), dan empati yang ditemukan dalam riset-riset ilmiah merupakan kunci keberhasilan dalam mengelola hidup. Hal-hal ini adalah skill of life (keterampilan hidup) yang lebih banyak dibangun oleh EQ ketimbang IQ.

IQ = kompetensi
EQ = karakter
Kecerdasan emosi jauh lebih lambat diperhatikan ketimbang IQ, termasuk oleh lembaga pendidikan. Beberapa kenalan saya di Manado adalah orang-orang terbaik dalam setiap penataran, penjenjangan karier ataupun promosi jabatan. Namun, beberapa orang di antara mereka tidak bisa mengontrol amarah, tidak bisa bekerja sama dengan orang lain, kurang terbuka, tidak bisa berempati, tidak bisa memaafkan, sinis, dan gampang curiga. Mereka tidak seperti Musashi (setelah berganti nama dari Takezo) yang mengenal dirinya selincah dan seterampil is mengenal pedangnya. Anda perhatikan betapa banyak sebuah kepemimpinan gagal bukan karena pemimpinnya bodoh, tetapi karena is tidak punya kecerdasan emosi. Bagaimana ia mengenal dan mengerti orang lain jika ia tidak mengerti dirinya? la tidak punya keterampilan sosial. “To understand others, we must understand ourselves,” menurut sebuah nasihat. “Siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya,” kata para mistikus.
Karakter dan kompetensi, atau IQ dan EQ, adalah kompas yang tepat sebagai sarana menakhodai hidup yang memang sudah susah ini. Jauhkan asumsi yang menyamakan kepintaran (IQ) dengan keberhasilan dan kesuksesan. Hati-hati dengan orang yang menganggap gelar-gelar, nilai rapor, IP atau IQ-nya sebagai jaminan kemampuannya mengelola kehidupan. Kita butuh Iebih dari sekadar pintar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar